oleh : Karenda Eka Karmila - 1102045183
Suprastruktur Politik, Tenno & Masyarakat serta Sistem Pemilu dan Kepartaian Jepang
Jepang
menganut sistem pemerintahan parlementer, oleh karena itukekuasaan
lembaga –lembaga negara tersebut tidak terpisah, melainkan terdapat
hubunan timbal balik yang sangat erat. Hal ini berbeda dengan sistem
pemerintahan presidensial murni, yang didalamnya terdapat pemisahan
kekuasaan secara tegas. Berikut adalah Hubungan antara suprasturktur di
Jepang :
Penjelasan :
a. Kabinet dapat membubarkan Parlemen tetapi hanya Majelis Rendah/House of Councellors.
b. Parlemen mengangkat/menunjuk Perdana Menteri dengan syarat harus orang sipil dan harus dari anggota Parlemen /Diet
c. Mahkamah Agung bertugas mengawasi Kabinet dalam melaksanakan Konstitusi 1947
d. Kabinet menunjuk Ketua Mahkamah Agung dan Hakim Agung
e. Mahkamah Agung mengawasi jalannya/pelaksanaan tugas-tugas Parlemen (misalnya dalam pembuatan Undang-Undang).
f. Impeachment,
Diet bisa memanggil Mahkamah Agung memepertanggungjawabkan
perbuatannya, atau dapat menuduh Mahkamah Agung tidak melaksanakan
tugasnya dengan baik.
Terlihat jelas bahwa terdapat hubungan timbal balik (saling mengawasi ) antara lembaga-lembaga negara Jepang.[1]
Peran Tenno dan Rakyat dalam Jepang Kontemporer
Peran Tenno
Didalam
Konstitusi 19465 Kedudukan kaisar Jepang adalah sebagai simbol negara
dan pemersatu rakyat dalam menjalankan peran yang murni seremonial tanpa
kedaulatan yang sesungguhnya. Jadi walaupun Kasiar adalah kepala negara
namun fungsinya sebagai seremonial belaka. Sehingga Kaisar Jepang hanya
bertindak sebagai kepala negara yang mengurusi segala urusan yang
berhubungan dengan diplomatik.
Peran Rakyat
Peran
rakyat di era Konstitusi Meiji tahun 1889, Janya memilih anggota
Shūgi-in (Majelis Rendah) dan sedangkan anggota Kizoku-in diangkat dari
keluarga kekaisaran, bangsawan, dan orang-orang yang ditunjuk oleh
kaisar.[2] Sedangkan konstitusi sekarang mentapkan rakyat untuk memilih Majelis Rendah Jepang (衆議院 shūgi'in) dan Majelis Tinggi Jepang (参議院 sangi'in). Kedua majelis dipilih secara langsung melalui sistem pemilihan paralel.[3] Serta secara nasional bisa melakukan review terhadap hakim MA.
Kepartaian di Jepang
Sejak
diberlakukannya konstitusi baru pada tahun 1947, terdapat tiga partai
besar yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum, yaitu
Partai Liberal (Jiyuto), Partai Sosialis (Shakaito) dan Partai Demokrat
(Minshuto).
Sistem Pemilihan Umum Tahun 1955
Pada
umumnya terdapat 2 (dua) prinsip pokok sistem pemilihan umum yaitu
Single-member Constituency (Sistem Distrik) dan Multi-member
Constituency (Proportional Representation/Sistem Perwakilan Berimbang
sedang gabungan antara keduaanya disebut sistem campuran.[4]
Pada
tahun 1955, dua partai berhaluan konservatif kanan, Jiyuto dan
Minshuto, melebur menjadi satu partai yang dominatif hingga tahun 1993,
Partai Demokrat Liberal (Jiyu Minshuto, Jiminto, Liberal Democratic
Party atau LDP). Sejak periode ini, dikenal istilah Sistem (gojugonen
taisei) 1955 [5].
Di Jepang bahkan di era sebelum Perang Dunia Kedua. Dimana awalnya
Jepang memang merupakan sebuah negara multi-partai, namun dua partai ini
merupakan partai politik yang paling dominan saat itu.
Kiprah
LDP sangat dominatif ini membuat istilah baru yang dinamakan ichi to-ni
bun’no ichi seito-sei (sistem satu-setengah partai), mengingat hasil
perolehan suara tidak dapat ditandingi Partai lain. Di sisi lain, LDP
telah membentuk sebuah jaringan kuat yang dinamakan tetsu no sankaku
chitai atau segitiga besi yang dihuni oleh partai berkuasa LDP dengan
keiretsu (pebisnis) dan birokrasi sebagai penopangnya. Dominasi LDP di
dalam dinamika politik di Jepang memang tidak dapat dilepaskan dari
sistem partai politik tahun 1955. Pasca PD II sistem politik sangat
bergantung dengan keinginan politik AS. SCAP dan GHQ ketika itu melarang
semua anggota parlemen petahanan sebelum PD II untuk kembali menduduki
posisinya. Pemilu pertama pasca-Perang Dunia Kedua diikuti hingga 267
partai politik.
Di dalam sistem pemilihan umum tahun 1955, kebijakan elektoral yang digunakan ialah penggunaan metode single non-transferable vote (SNTV). Penggunaan
metode ini berarti di dalam setiap distrik sebuah partai politik
diharuskan untuk mencalonkan lebih dari satu calon. Pemilihannya akan
sangat difokuskan kepada pemilihan calon-calon individu ini ketimbang
kepada partai politik itu sendiri. Banyak pengamat yang beranggapan
partai LDP sangatlah diuntungkan dengan sistem ini dikarenakan posisi
partai ini sebagai pemerintah sangat memudahkan bagi anggota-anggotanya
dikenal oleh masyarakat Jepang ketimbang partai Sosialis yang kurang
dikenal individu-individu anggotanya.
Sejak
tahun 1955, LDP memiliki kemampuan sebagai partai yang hegemonik dalam
tatanan pemerintahan Jepang selama 38 tahun, akhirnya dikalahkan melalui
koalisi partai-partai lawan yang berhasil meraih kursi mayoritas pada
tahun 1993, Meskipun LDP merupakan partai yang berkuasa sangat lama dan
berpengaruh sangat kuat dalam setiap langkah politis, ekonomis,
diplomatis dan bahkan kulturalis Jepang, LDP tidak pernah memperoleh
suara yang menjadikannya memiliki dua-per-tiga kursi di parlemen,
sehingga tidak sedikit dari rancangan kebijakan LDP yang diveto oleh
oposisi di dalam parlemen
Kemajuan
ekonomi di Jepang di masa 1960-1980an ternyata telah membawa banyak
elit politik LDP menjadi korup dan banyak melakukan persekongkolan
dengan kalangan pengusaha. Di 1980an hal ini semakin terungkap.
Masyarakat Jepang yang sebelumnya bersifat konservatif dan mengedepankan
status-quo, kini berubah dan mendukung adanya reformasi dan berakhirnya
dominasi LDP. Merosotnya dominasi LDP mulai menjadi kenyataan pada
tahun 1989 di saat kekalahan LDP pada pemilihan majelis tinggi di
parlemen. Pada tahun ini pula partai Sosialis Jepang mulai
merestrukturisasi sistem internalnya. Puncaknya pada tahun 1993 LDP
untuk pertama kalinya tidak mampu meraih kursi lebih dari empat puluh
persen di kokkai. Dikalangan LDP sendiri terjadi perpecahan terbukti di
kala pasca-pemilihan umum tahun 1993, menghasilkan tiga partai politik
baru yang dibentuk oleh para anggota-anggota LDP terdahulu.
Partai-partai tersebut adalah Shinshinto (New Frontier Party atau NFP,
yang pada tahun 1998 menjadi Minshuto atau DPJ), Shinseito dan Shinto
Sakigake.
Reformasi Pemilihan Umum Jepang
Pada tahun 1993 shugi-in kokkai meloloskan berbagai
undang-undang untuk mereformasi sistem pemilihan umum. Sistem yang baru
ini memiliki tiga tujuan utama yaitu, mengurangi biaya kampanye dan
kemungkinan terjadinya korupsi, menggantikan sistem pemilihan yang
individu-sentris menjadi partai-sentris, dan juga untuk menciptakan
alternatif baru di dalam sistem parlementarian Jepang. Metode pemilihan
umum dirubah menjadi lebih terpusat kepada posisi partai politik.
Reformasi
di dalam metode pencalonan di dalam pemilihan umum memang terjadi,
namun tidak sepenuhnya reformasi ini terjadi. Dengan berbagai macam
kompromi politik dengan banyak kekuatan-kekuatan partai politik,
akhirnya sistem yang dipilih ialah memperkecil wilayah kandidat meskipun
tetap bersifat individual (Single-member District atau SMD) dan
menambahkan satu jenis pencalonan lagi yaitu perwakilan proporsional
yang ditujukan untuk terbentuknya kelompok oposisi yang baik. Sistem ini
disebut mixed member sistem yang meletakan kekuatan pencalonan untuk
dipecah menjadi dua bentuk.
Sistem
ini berhasil mengurangi dominasi LDP dan memperkuat posisi oposisi di
Jepang. Hasil pemilihan sejak 1993 hingga 2009 juga membawa LDP tidak
pernah lagi mencapai hasil di atas empat puluh persen pada pemilu
majelis rendah hingga kini. Posisi oposisi yang kuat ini kemudian
terbukti mampu membuat dinamika politik di Jepang menjadi sangat dinamis
dan seringkali berhasil menjatuhkan para perdana menteri dari LDP.
Hingga pada akhirnya pada tahun 2009, DPJ, partai politik oposisi paling
kuat mampu memenangkan pemilihan umum dan menjadi partai berkuasa.
Dampak reformasi sistem pemilihan umum ini mempengaruhi tingkatan
anggota parlemen yang terpilih kembali. Meskipun dengan sistem 1955,
tingkatan anggota parlemen yang terpilih kembali sudah tinggi dengan
tingkatan 82%, setelah reformasi dilaksanakan tingkatan ini justru lebih
meningkat. Dengan implikasi ini, pemerintahan koalisi pun semakin
sering terjadi pasca-reformasi sistem pemilu 1993 bila dibandingkan
sebelum 1993.[6]
Kesimpulan.
Sangat
jelas terlihat adanya hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga
negara Jepang. Peran Tenno Pasca PD II hanya sebagai simbol dan Peran
Rakyat menjadi lebih luas untuk memberikan input pada sistem apalagi
berubahnya sistem pemilu dimana rakyat memilih Shugi’in dan Sangi’in
secara langsung. Perkembangan Sistem politik dalam hal kepartaian dan
pemilu pada awalnya sangat dipengaruhi oleh AS pasca PD II namun dalam
perkembangannya LDP sebagai Partai Konservatif memberikan kekecawaan
pada masyarakat dan memicu Reformasi Pemilihan Umum di Jepang
0 komentar:
Post a Comment