oleh:
Ade Nurul Rezky Nim: 1302045237
Penjelasan :
a. Kabinet dapat membubarkan Parlemen tetapi
hanya Majelis Rendah/House of Councellors.
b. Parlemen mengangkat/menunjuk Perdana Menteri
dengan syarat harus orang sipil dan harus dari anggota Parlemen /Diet
c. Mahkamah Agung bertugas mengawasi Kabinet dalam melaksanakan
Konstitusi 1947
d. Kabinet menunjuk Ketua Mahkamah Agung dan
Hakim Agung
e. Mahkamah Agung mengawasi
jalannya/pelaksanaan tugas-tugas Parlemen (misalnya dalam pembuatan
Undang-Undang).
f. Impeachment, Diet bisa memanggil Mahkamah
Agung memepertanggungjawabkan perbuatannya, atau dapat menuduh Mahkamah Agung
tidak melaksanakan tugasnya dengan baik.
Terlihat
jelas bahwa terdapat hubungan timbal balik (saling mengawasi ) antara lembaga-lembaga
negara Jepang.
Peran
Tenno
Didalam
Konstitusi 1947 Kedudukan kaisar Jepang adalah sebagai simbol negara dan
pemersatu rakyat dalam menjalankan peran yang murni seremonial tanpa kedaulatan
yang sesungguhnya. Jadi walaupun Kasiar adalah kepala negara namun fungsinya
sebagai seremonial belaka. Sehingga Kaisar Jepang hanya bertindak sebagai
kepala negara yang mengurusi segala urusan yang berhubungan dengan diplomatik.
Peran
Rakyat / People
Peran
rakyat di era Konstitusi Meiji tahun 1889,
hanya memilih anggota Shūgi-in (Majelis Rendah) dan sedangkan anggota
Kizoku-in diangkat dari keluarga kekaisaran, bangsawan, dan orang-orang yang
ditunjuk oleh kaisar. Sedangkan
konstitusi sekarang menetapkan rakyat untuk memilih Majelis Rendah Jepang (衆議院 shūgi'in) dan Majelis Tinggi
Jepang (参議院 sangi'in). Kedua majelis dipilih
secara langsung melalui sistem pemilihan paralel. Serta secara nasional bisa
melakukan review terhadap hakim MA.
Kepartaian
di Jepang
Sejak
diberlakukannya konstitusi baru pada tahun 1947, terdapat tiga partai besar
yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan umum, yaitu Partai Liberal
(Jiyuto), Partai Sosialis (Shakaito) dan Partai Demokrat (Minshuto).
Sistem
Pemilihan Umum Tahun 1955
Pada
umumnya terdapat 2 (dua) prinsip pokok sistem pemilihan umum yaitu
Single-member Constituency (Sistem
Distrik) dan Multi-member Constituency (Proportional Representation/Sistem
Perwakilan Berimbang sedang gabungan antara keduaanya disebut sistem campuran.
Pada
tahun 1955, dua partai berhaluan konservatif kanan, Jiyuto dan Minshuto,
melebur menjadi satu partai yang dominatif hingga tahun 1993, Partai Demokrat
Liberal (Jiyu Minshuto, Jiminto, Liberal Democratic Party atau LDP). Sejak
periode ini, dikenal istilah Sistem (gojugonen taisei) 1955. Di Jepang bahkan
di era sebelum Perang Dunia Kedua. Dimana awalnya Jepang memang merupakan
sebuah negara multi-partai, namun dua partai ini merupakan partai politik yang
paling dominan saat itu.
Kiprah
LDP sangat dominatif ini membuat istilah baru yang dinamakan ichi to-ni bun’no
ichi seito-sei (sistem satu-setengah partai), mengingat hasil perolehan suara
tidak dapat ditandingi Partai lain. Di sisi lain, LDP telah membentuk sebuah
jaringan kuat yang dinamakan tetsu no sankaku chitai atau segitiga besi yang
dihuni oleh partai berkuasa LDP dengan keiretsu (pebisnis) dan birokrasi
sebagai penopangnya. Dominasi LDP di dalam dinamika politik di Jepang memang
tidak dapat dilepaskan dari sistem partai politik tahun 1955. Pasca PD II
sistem politik sangat bergantung dengan keinginan politik AS. SCAP dan GHQ
ketika itu melarang semua anggota parlemen petahanan sebelum PD II untuk
kembali menduduki posisinya. Pemilu pertama pasca-Perang Dunia Kedua diikuti
hingga 267 partai politik.
Di dalam sistem pemilihan umum tahun 1955,
kebijakan elektoral yang digunakan ialah penggunaan metode single
non-transferable vote (SNTV). Penggunaan metode ini berarti di dalam setiap
distrik sebuah partai politik diharuskan untuk mencalonkan lebih dari satu
calon. Pemilihannya akan sangat difokuskan kepada pemilihan calon-calon
individu ini ketimbang kepada partai politik itu sendiri. Banyak pengamat yang
beranggapan partai LDP sangatlah diuntungkan dengan sistem ini dikarenakan
posisi partai ini sebagai pemerintah sangat memudahkan bagi anggota-anggotanya
dikenal oleh masyarakat Jepang ketimbang partai Sosialis yang kurang dikenal
individu-individu anggotanya.
Sejak
tahun 1955, LDP memiliki kemampuan sebagai partai yang hegemonik dalam tatanan
pemerintahan Jepang selama 38 tahun, akhirnya dikalahkan melalui koalisi
partai-partai lawan yang berhasil meraih kursi mayoritas pada tahun 1993,
Meskipun LDP merupakan partai yang berkuasa sangat lama dan berpengaruh sangat
kuat dalam setiap langkah politis, ekonomis, diplomatis dan bahkan kulturalis
Jepang, LDP tidak pernah memperoleh suara yang menjadikannya memiliki
dua-per-tiga kursi di parlemen, sehingga tidak sedikit dari rancangan kebijakan
LDP yang diveto oleh oposisi di dalam parlemen
Kemajuan
ekonomi di Jepang di masa 1960-1980an ternyata telah membawa banyak elit
politik LDP menjadi korup dan banyak melakukan persekongkolan dengan kalangan
pengusaha. Di 1980an hal ini semakin terungkap. Masyarakat Jepang yang
sebelumnya bersifat konservatif dan mengedepankan status-quo, kini berubah dan
mendukung adanya reformasi dan berakhirnya dominasi LDP. Merosotnya dominasi
LDP mulai menjadi kenyataan pada tahun 1989 di saat kekalahan LDP pada
pemilihan majelis tinggi di parlemen. Pada tahun ini pula partai Sosialis
Jepang mulai merestrukturisasi sistem internalnya. Puncaknya pada tahun 1993
LDP untuk pertama kalinya tidak mampu meraih kursi lebih dari empat puluh
persen di kokkai. Dikalangan LDP sendiri terjadi perpecahan terbukti di kala
pasca-pemilihan umum tahun 1993, menghasilkan tiga partai politik baru yang
dibentuk oleh para anggota-anggota LDP terdahulu. Partai-partai tersebut adalah
Shinshinto (New Frontier Party atau NFP, yang pada tahun 1998 menjadi Minshuto
atau DPJ), Shinseito dan Shinto Sakigake.
Reformasi
Pemilihan Umum Jepang
Pada tahun 1993 shugi-in kokkai meloloskan
berbagai undang-undang untuk mereformasi sistem pemilihan umum. Sistem yang
baru ini memiliki tiga tujuan utama yaitu, mengurangi biaya kampanye dan
kemungkinan terjadinya korupsi, menggantikan sistem pemilihan yang
individu-sentris menjadi partai-sentris, dan juga untuk menciptakan alternatif
baru di dalam sistem parlementarian Jepang. Metode pemilihan umum dirubah
menjadi lebih terpusat kepada posisi partai politik.
Reformasi
di dalam metode pencalonan di dalam pemilihan umum memang terjadi, namun tidak
sepenuhnya reformasi ini terjadi. Dengan berbagai macam kompromi politik dengan
banyak kekuatan-kekuatan partai politik, akhirnya sistem yang dipilih ialah
memperkecil wilayah kandidat meskipun tetap bersifat individual (Single-member
District atau SMD) dan menambahkan satu jenis pencalonan lagi yaitu perwakilan
proporsional yang ditujukan untuk terbentuknya kelompok oposisi yang baik.
Sistem ini disebut mixed member sistem yang meletakan kekuatan pencalonan untuk
dipecah menjadi dua bentuk.
Sistem
ini berhasil mengurangi dominasi LDP dan memperkuat posisi oposisi di Jepang.
Hasil pemilihan sejak 1993 hingga 2009 juga membawa LDP tidak pernah lagi
mencapai hasil di atas empat puluh persen pada pemilu majelis rendah hingga
kini. Posisi oposisi yang kuat ini kemudian terbukti mampu membuat dinamika
politik di Jepang menjadi sangat dinamis dan seringkali berhasil menjatuhkan
para perdana menteri dari LDP. Hingga pada akhirnya pada tahun 2009, DPJ,
partai politik oposisi paling kuat mampu memenangkan pemilihan umum dan menjadi
partai berkuasa.
Dampak reformasi sistem pemilihan umum ini
mempengaruhi tingkatan anggota parlemen yang terpilih kembali. Meskipun dengan
sistem 1955, tingkatan anggota parlemen yang terpilih kembali sudah tinggi
dengan tingkatan 82%, setelah reformasi dilaksanakan tingkatan ini justru lebih
meningkat. Dengan implikasi ini, pemerintahan koalisi pun semakin sering
terjadi pasca-reformasi sistem pemilu 1993 bila dibandingkan sebelum 1993.
Kesimpulan.
Sangat jelas terlihat adanya
hubungan timbal balik antara lembaga-lembaga negara Jepang. Peran Tenno Pasca PD II hanya sebagai
simbol dan Peran Rakyat menjadi lebih luas untuk memberikan input pada sistem apalagi
berubahnya sistem pemilu dimana rakyat memilih Shugi’in dan Sangi’in secara
langsung. Perkembangan Sistem politik dalam hal kepartaian dan pemilu pada
awalnya sangat dipengaruhi oleh AS pasca PD II namun dalam perkembangannya LDP
sebagai Partai Konservatif memberikan kekecawaan pada masyarakat dan memicu
Reformasi Pemilihan Umum di Jepang

0 komentar:
Post a Comment