.

.
Home » » Resume Buku Teori Perbandingan Politik oleh Ronald H. Chilcote (BAB II)

Resume Buku Teori Perbandingan Politik oleh Ronald H. Chilcote (BAB II)

Resume Teori Perbandingan Politik

Nama Kelompok :
Arisna Supiani putri
Christofel Agustinus P
Dira Triana
M.Rizal.Anindya
M.Rizal.Ramdani
Rifky Irham


BAB 2
    
IDEOLOGI DAN ISU-ISU PERBANDINGAN POLITIK
Di kalangan sarjana dan mahasiswa terdapat keluhan pada ilmu politik dan perbandingan politik. Disiplin ilmu dinilai kelewat konservatif sehingga dijauhi oleh para aktivis yang terlibat dalam perubahan-perubahan politik. Di AS, para mahasiswa dan sarjana kemudian terdorong untuk menelaah hubungan antara riset  universitas dengan kegiatan lain yang dilakukan instansi-instansi pemerintah, khususnya Central Intelligence Agency (CIA), Federal Bureau of Investigation (FBI), Markas Besar Militer AS (Pentagon), dan Departemen Luar Negeri. Terungkap bahwa selama 1960-an universitas-universitas dan yayasan-yayasan swasta penyandang dana banyak memanfaatkan riset perbandingan politik, yang sebelumnya dipercaya netral dan bebas nilai.
Ilmu politik yang berkembang di AS bukan tanpa cacat, dan tidak tersedia banyak ruang bagi para sarjana dan aktivis politik untuk memperbaikinya.




MITOS DAN REALITAS POLITIK
Para pengamat politik yang kritis sengaja mencari kesenjangan atau penyimpangan yang dilakukan pemerintah maupun swasta. Perspektif yang biasa muncul mengatakan bahwa pemerintah korup, semua akibat rasisme di AS. Perspektif itu bisa jadi benar namun perlu didukung oleh bukti bukti yang hendaknya dilihat dari sudut pandang masyarakat secara keseluruhan bukan pada suatu kelompok tertentu saja. Sayangnya, politik umumnya cenderung memihak dan diwarnai oleh mitos politik.
Mitos dan kenyataan sama-sama mempengaruhi pemahaman. Sejumlah ilmuwan politik menekankan ideology tradisional yang tidak lagi relevan terhadap masyarakat modern. Para ilmuwan politik juga ingin menarik garis pembeda antara kegiatan politik dari kegiatan lainnya dan upaya ini bertolak dari keinginan untuk menegaskan keberadaan ilmu politik  sebagai sebuah disiplin ilmu.
Ideologi senantiasa melekat pada setiap orang. Makna-makna spesifik ideology terkacaukan oleh ilmu social kontemporer yang menggunakan ideology secara peyoratif (makin lama makin negative/sempit) untuk merujuk kredo rezim-rezim totaliter, atas dasar pengertian ini muncul anggapan bahwa ideology tidak akan ada lagi dalam masyarakat modern demokratis. Pendapat ini tidak sesuai dengan kenyataan.



Sejak lama ideology selalu hadir dalam proses industrialisasi dan berbagai konsekuensi ekonomi dan sosialnya. Berbagai ideology modern berkembang di era dimana terjadi perubahan ekonomi dan situasi politik yang serba cepat, khususnya di AS dan di Eropa. Ada pendapat bahwa kemajuan teknologi menstabilkan kondisi sehingga consensus demokratis pun merebak dan memudarkan aneka ideology universalistic, humanistic dan intelektual yang berkembang di Barat. Hanya di Dunia Ketiga ideology massa terus bertahan. Yang berpendapat bahwa ideology telah tamat di dunia modern berpendapat bahwa bertahannya tatanan politik di Dunia Ketiga disebabkan oleh lemahnya institusi-institusi demokratis sehingga kawasan itu akan terus dikuasai oleh elit dalam suatu tatanan totaliter.

Pertentangan ideology memunculkan banyak pertanyaan seperti ketimpangan kesejahteraan dan otorisme, suatu kajian menunjukkan bahwa sesungguhnya pertanyaan lama itu masih menjadi perhatian utama dalam studi-studi politik kontemporer.
Sejalan dengan bertahannya pandangan bahwa ideology masih sangat penting dalam studi perbandingan politik, berkembang pula studi politik sains yang idenya bertumpu pada proses industrialisasi dan tenikalisasi suatu masyarakat yang dicirikan oleh adanya birokrasi, spesialisasi, dan pembagian kerja. Ilmu politik pun berkembang menjadi sebuah “ilmu perilaku”.
Tinjauan kritis terhadap ideology dalam politik melibatkan pemikiran Thomas Kuhn yang menegaskan bahwa para ilmuwan social tidak bisa mengabaikan struktur keyakinan, nilai-nilai dan mitos-mitos yang semuanya tidak dapat diukur secara pasti. Patokan pemikiran ini disebut sebagai paradigma atau gagasan pengaturan dasar tentang karakter fundamental dari kenyataan.
Dalam upaya mencari paradigma ilmiah, para ilmuwan politik menguantifikasi penelitian dan bias-bias personal; telaah ilmiah pun terfokus pada hal-hal rutin seperti proses kegiatan pemeritah, dan teknik teknik serta metodologi yang digunakan justru cenderung memanipulasi kenyataan demi efisiensi penelitian. Kenyataan itu sendiri kemudian direduksi, misalnya didasarkan pada asumsi asal-asalan bahwa masyarakat AS pada dasarnya cermat dan baik.


ILMU DAN PROFESI POLITIK
Sekian tahun yang lampau para mahasiswa ilmu politik dan kalangan akademik di Universitas California, Berkeley, mengadakan diskusi tentang disiplin ilmu. Mereka menyatakan bahwa para peneliti politik sering menyembunyikan keberpihakan mereka. Ilmu politik kemudian menjadi disiplin ilmu paling konservatif dan menolak  peran para aktivis. Organisasi profesinya di AS, yakni American Political Science Association, menyisihkan dua resolusi penting, pertama berisikan tuntutan pemecatan direktur eksekutif dan bendaharanya yang diketahui bekerja untuk CIA. 
Resolusi kedua berisikan himbauan bagi semua universitas untuk tidak mengungkapkan daftar anggota mahasiswa atau dosennya yang tergabung dalam House Un-American Activities Committee. Penolakan asosiasi untuk menerapkan dua resolusi itu mendorong dibentuknya organisasi tandingan yang disebut Caucus for a new Political Science. Organisasi ini kemudian menyelenggarakan pemilihan ketua secara terbuka, suatu hal yang tidak pernah dilakukan asosiasi.

Alan Wolfe mendapati bahwa keanggotaan komite nominasi dikuasai oleh para lulusan universitas terkemuka saja; Sembilan dari sepuluh anggota komite nominasi meraih gelar doktornya dari universitas-universitas yang menjadi langganan dalam kategori sepuluh universitas terbaik di AS. Ia menyimpulkan bahwa dalam pola lama, seseorang tidak mungkin menjadi ilmuwan politik yang diakui jika ia tidak menjadi anggota asosiasi.  
Kerusuhan social di AS selama 1960an juga mendorong pencabangan ilmu ekonomi. Generasi ekonomi muda yang radikal menentang para ekonom ortodoks yang mereka anggap upayanya memperthankan kapitalisme telah mendorong Negara-negara termaju di dunia terjebak dalam inflasi, pengangguran dan pertumbuhan yang tidak merata. Tulisan-tulisan ekonomi radikal kemudian popular dalam perkuliahan di berbagai universitas. Secara spesifik kaum ekonom radikal berpendapat bahwa pembangunan Negara-negara kapitalis maju bertumpu pada penaklukan dan eksploitasi terhadap Negara-negara miskin. Perdagangan, investasi dan bantuan luar negeri pada dasarnya merupakan instrument untuk mencipatakan hubungan timpang itu, sehingga Negara kaya terus maju dan Negara miskin kian terkebelakang.


KESARJANAAN, ETIKA DAN KEMAPANAN
Secara tradisional, universitas dipandang sebagai lembaga netral yang terhormat. Pandangan ini begitu mengakar di masyarakat, bahkan sudah menjadi mitos. Universitas juga dipandang memainkan peran penting sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun dalam waktu bersamaan, universitas tergantung kepada masyarakat bagi pemenuhan segala keperluannya. Bertolak dari hubungan timbal balik antara universitas dan masyarakat ini, maka pengetahuan menjadi suatu komoditi.
Hubungan antara universitas dengan masyarakat secara keseluruhan juga berubah karena beberapa factor khusus. Kekalahan AS di Indochina, skandal Watergate, maraknya kegiatan mata-mata dinas intelijen AS terhadap ribuan warga AS sendiri, memunculkan banyak pertanyaan tentang organisasi dan maksud keberadaan masyarakat yang lantas juga menggugat organisasi dan maksud keberadaan universitas. Ilmu politik ikut terpengaruh, karena asosiasi profesionalnya telah tersusupi; direktur eksekutif dan bendaharanya, dua jabatan yang sangat strategis, ternyata adalah pejabat dan agen aktif CIA.


ILMU SOSIAL DAN PEMERINTAH
Perhatian para ilmuwan politik tertuju pada kebijakan (policy), dan riset-riset mereka berpotensi dan kenyataannya memang sering mempengaruhi perumusan atas suatu kebijakan. Oleh sebab itu, penerimaan dana bantuan pemerintah bagi kegiatan riset itu tentunya mengandung implikasi-implikasi etis.
Hubungan antara universitas dengan CIA bahkan lebih menghebohkan. Banyak administrator universitas yang ternyata bekerja untuk CIA dengan memata-matai mahasiswa tertentu atau ikut dalam kegiatan intelijen tertentu di luar negeri. Namun hal yang paling mengejutkan bagi dunia akademik adalah terungkapnya fakta bahwa CIA menyubsidi National Student Association (NSA) sebesar $ 4 juta dari tahun 1952 hingga 1967, serta bahwa sekitar tigaperempat pimpinan teras NSA  dari tahun 1956-1962 telah direkrut sebagai agen-agen CIA. Jutaan dolar dana CIA juga telah disalurkan ke berbagai organisasi kepemudaan, di luar dari yang telah diberikan ke kalangan akademik, riset, jurnalistik, serikat buruh, dan bahkan dunia hukum, baik di AS maupun di luar negeri.


Jelas bahwa penyusunan CIA ke dalam dunia akademik dan kebudayaan sangat mempengaruhi perkembangan ilmu politik. Demikian pula halnya dengan kegiatan-kegiatan FBI. Rektrutmen langsung kedua lembaga intelijen itu di kalangan mahasiswa dan karyawan fakultas untuk memata-matai kegiatan-kegiatan tertentu di dalam dan luar negeri telah melemahkan kredibilitas karya-karya perbandingan politik, bahkan menggoyahkan integritasnya sebagai sebuah disiplin ilmu. Keterkaitan kegiatan intelijen di dalam dan di luar negeri itu dibuktikan oleh keleluasaan raja perak AS Howard Hunt untuk bergerak bebas di kalangan kaum pembangkang Kuba, para penasihat Richard Nixon di Gedung Putih, dan para pencuri Watergate. Bukti lainnya adalah kerjasama antara para agen FBI  dan petugas imigrasi Meksiko yang secara rutin memeriksa para ilmuwan AS yang bepergian ke Kuba lewat Mexico City. FBI juga telah memalukan kalangan akademisi di AS dengan mencelakakan Peter bohmer, professor ekonomi yang radikal ketika tengah keluar dari kota San Diego, melalui beberapa orang teroris binaan FBI.


ILMU SOSIAL DAN PERUSAHAAN MULTINASIONAL
Selama penghujung 1960an, kaum radikal juga mengarahkan perhatian mereka terhadap perusahaan-perusahaan besar. Mereka berpendapat bahwa kaum akademik sesungguhnya hanya bekerja untuk administrasi dan yayasan perusahaan riset dan pengembangan yang disebut universitas. Keputusan-keputusan universitas itu dibuat oleh para “direktur” yang sebenarnya melayani dunia bisnis, perbankan, birokrasi, dan militer. Lembaga public seperti University of California, menurut kaum radikal, ternyata dikendalikan para anggota keluarga-keluarga kaya dan berpengaruh lainnya. Sebagai contoh, universitas swasta terkemuka seperti Harvard dikelola secara ketat; universitas ini dikendalikan oleh sebuah dewan beranggotakan tujuh orang; jika salah satunya meninggal dunia atau mengundurkan diri, maka penggantinya sudah disiapkan dan dipilih langsung oleh ketujuh anggota dewan tersebut.
Lebih jauh dikemukakan pula bahwa keterkaitan antara universitas dan dunia bisnis cocok dengan karakter kapitalis, khususnya kapitalisme AS di dalam dan luar negeri. Universitas sama saja dengan pabrik yang memproduksi barang dan jasa yang membawa pandangan AS tentang dunia.
Riset-riset universitas juga tergantung pada yayasan-yayasan swasta penyedia dana. Pendapatan tahunan Ford Foundation ternyata melampaui laba bank terbesar di dunia, dan asset milik Ford Foundation ternyata empat kali lebih besar daripada asset Rockefeller Foundation. Sebagai yayasan penyandang dana yang tidak bertujuan mencari keuntungan, mereka ternyata bertindak sebagai “landasan jaringan berbagai organisasi yang pusat jaringannya menjadi alat kalangan kaya untuk memaksakan kehendaknya terhadap Washington. Jaringan itu mencakup pula organisasi-organisasi riset dan kebijakan yang dibiayai  dan sebagian stafnya dipasok oleh yayasan-yayasan dan perusahaan-perusahaan besar. Salah satu dari organisasi semacam itu adalah Council on Foreign Relations yang menerbitkan jurnal Foreign Affairs yang prestisius. Organisasi ini telah mencetak para spesialis kondang yang semuanya menyediakan dana bagi kalangan akademisi dan mengasimilasikan temuan mereka dengan kebijakan dan aksi luar negeri AS.
Terakhir, pembentukan dan kegiatan-kegiatan Trilateral Commission membuktikan kebenaran sinyalemen tentang adanya hubungan khusus antara perusahaan-perusahaan multinasional, pemerintah dan dunia akademik. Trilateralisme ini dipromosikan oleh para ilmuwan dan pejabat pemerintah Jepang, AS dan Eropa Barat melalui serangkaian laporannya. 


0 komentar:

Post a Comment