WAHYUDIN NOR
ISMAIL
ANGGA DWI SAPUTRA
SELMANUS NOBER S
AHMAD NAJIH PERMANA
MUHAMMAD VAHRIANDI
JANUWAR RAMDHAN
FARUQ FAHREZA
BAB 6
TEORI-TEORI BUDAYA POLITIK KOLEKTIVITAS DAN MANUSIA
Teori-teori
budaya politik kontemporer ortodoks dan radikal menjadi pusat perhatian yang
dihubungkan dengan asumsi budaya karya marx dan weber, beragam pandangan yang
berasal dari antropologis , sosiologi dan psikologi diuji untuk mencari
asal-usul budaya politik pada tingkat makro atau mikro,
Pada
tingkat umum marx memandang keyakinan-keyakinan dan symbol budaya dalam
masyarakat kapitalis sebagai bagian dari sebuah suprastruktur ideology dan kesadaran
semu, oleh karenanya buday bersifat statis, perubahan budaya hanya terjadi
lewat perubahan sejarah berbasis material, lewat transformasi mode produksi dan
hubungan0hubungan kelas.
Weber
dan max berurusan dengan tingkat budaya umum dan khusus, secara keseluruhan ,
weber menjelaskan susunan politik social dan ekonomi dengan merujuk pada budaya
otonom, sementara marx menjelaskan budaya dalam pengertiannya terhadap susunan
politik, social dan ekonomi masyarkat.
KONSEPTUALISASI
BUDAYA DAN BUDAYA POLITIK ORTODOKS
Makna
budaya kebanyakan berasal dari penggunaan budaya dari penggunaan budaya dalam
penegrtian antropologi, E.B taylor, konsep budaya sebagai keutuhan kompleks
yang menyertakan , pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum adat dan
kemampuan serta kebiasaan diri sebuah komunitas.
Konsep
budaya menurut Frans Boas serupa dengan taylor, budaya merangkul seluruh
perwujudan kebiasaan suatu komunitas, konsep budaya menurut clyde kluckhohn,
budaya terdiri dari pola-pola eksplisit dan implicit dari dan atas perialku
yang didapat dan disalurkan melalui symbol-simbol.keragaman inilah yang memandu
pemikiran ilmu social tentang budaya, ada konsep budaya humanistic dan budaya
antropologis yang kemudian coba dijembatani oleh jaeger dan selznik, dengan
berpendapat bahwa ada kecenderungan antropolog yang mencerminkan kepedulian
terhadap niali ideal budaya.
INTERPRETASI
BUDAYA PPOLITIK PADA TINGKATAN UMUM
Konsep
budaya politik dikenalkan pertama kali (1956) oleh Gabriel almond untuk
memberikan suatu klasifikasi dalam membandingkan system-sistem politik, almond
menyarankan budaya politik terpisah (
memiliki otonom) namun tetap berhubungan dengan budaya umum, namun ia juga
menghubungkannya dengan klasifikasi system politiknya, dalam the civic culture,
almod dan verba menyempurnakan konsep budaya politiknya, mereka merujuk pada
system politik yang terinternalisasikan lewat perenungan perasaan, dan evaluasi
penduduknya. Berkolaborasi dengan o’bingham powell jr, almond memperluas system
politiknya, budaya politik adalah sikap-sikap dan orientasi individu dual
politik diantara suatu system politik.
Studi-studi
komunikasi
Komunikasi
adalah jaringan masyarakat manusia .atau sturuktur sebuah system komunikasi
dengan saluran –saluarannya yang sedikit banyak terdefinisikan dengan baik
komunikasi menjadi aspek yang agak terpingirkan dan
tidak sepenuhnya di peluaskan dalam perbandingan politik, studi komunikasi
adalah esensial dan memberikan fasilitas bagi pemahaman dan perkembangan
budaya,
Menurut
Lucian pye bahwa seluruh proses- proses social dapat di analisis dalam
pengertiyang berhubunganan struktur, kandungan dan aliran komunikasi. Ada pun
ciri- ciri komunikasi
Pertama
sebagaimana di sampaikan di atas bahwa komunikasi meresapi hubungan manusi
dengan pesan yang segaja maupun tidak kedua komunikasi berlaku pada institusi
media masa pers dan radio ,televise. Seni –seni
popular.
Dengan
ciri-ciri di atas pye meneguhkan sebuah budaya dunia sabagai tipe ideal dari
apa yang di pikirkan bagi kehidupan modern. Ia di dasarkan pasa suatu pandangan
ilmiah dan rasional serta penerapannya dalam seluruh fase kehidupan dengan
tingkat –tingkat teknologi yang selalu lebih tinggi ia merupakan pencerminan
masyarkat perkotaan dan industry di mana hubungan hubungan manusi di dalilkan
pada pertimbangan pertimbangan sekuler ketimbang saktral ia merangkul semangat
pencerah setidaknya pengakuaan nilai –nilai manusia secara formal dan penerima
norma –norma rasional legal prilaku pemerintah.
Di dalam
memaparkan budaya ilmiah ini pye di tahun 1963 menulis 3 model komunikasi
trasional.transisional. dan modern dari tahap tradisional atau transisonal
menuju modern teori tahap ini
mengklasifikasikan dan mengambarkan
masyarakat tertentu
Tahap
pertama tradisional proses komunikasi
inin tidak di bedakan secara tajam dengan sosial lainnya proses hirarki social
menentukan aliran dan kandungan informasi sehingga memperkuat kepentingan
sendiri dan para komunikator professional jarang terdapat
Tahap
kedua trasisional adlah komunikasi terbagi menjadi dua orientasinya pecah pecah
di satu sisi pusat populasi perkotaan dan berpandangan barat berorentasi.
Tahap
ketiga modern komunikasi media massa terprofesionalis dan relative indefenden
terhadap pemerintah mereka di pandu oleh standar standar universal,interaksi
dan umpan balik mencirikan lairan informasi anatara kedua tingkat
ciri
dasar suatu budaya politik sebagian di tentukan oleh hubungan antara komunikasi
komunikasi dan proses yang menjadi ekspresi kepentingan politik, komunikasi
berhubungan dengan proses lain seperti mobilisasi, partisipasi dan pengaruh
mobilisasi adalah proses dimana kelompok –kelompok komitmen social ekonomi dan
psikologi utama yang lam terkikis atau
runtuh dan orang siap menerima pola pola sosialisasi dan prilaku yang
baru.
Studi
–studi sosialisasi
Di dalam
media massa khususnya di dalam media massa berkontribusi pada sosialiasi
politik sebuah subjek yang banyak menarik minat spesialis perbandingan
politikdi negara –negara kapitalis seperti amerika syarikat.ilmuwan politik
menguji sosialisasi politik sebagai cara untuk melakkan verifikasi asumsi
asumsi tentang pemerintahan demokratis studi studi negara sosialisseperti
china,kuba,dan uni soviet berfokus pada
pola pemikiran yang mensosialisasikan populasi sehingga mereka mengadopsi
keyakinan dan nilai nilai masyarakat
revolusioner.
Meskipun
para ilmuwan politik telah lama tertarik dengan cara cara parah anggota masyarakat yang
mempelajari politik tidak terdapat
khusus menyangkut apa yang perlu di pelajari atau bagaimana riset perlu di laksanakan secara historis yang satu di sebut pendekatan sosiopsikologis dan yang lain
pendekatan politik. Pendekatan politik umum sebaliknta menilai konsekuensi
social bagi system secra utuh dan kurang
memperhitungkan keyakinan poliyik
individual dan mengarahkan perhatian pda institusi yang membentuk pola kewenagan dan legitimasi
Menurut
morgan 1974 adalah salah tafsir green stein 1965 juga berpadapat bahwa
perbedaan kelas hubungan dengan
sosialisasi politik karena orang tua dari strata social lebih tinggi secra
politik lebih aktif dan cenderung dan cenderung memberikan satu model
keterlibatan sipil kepada anak
anaknya.semua tingkat
kehidupan dan focus kebanyakan studi adalah pembelajaran politik
mas kanak –kanak studi ini di
maksud untuk meberikan konsentrasi pada
agen agen sosialisasi politik dan literature
socialisasi politik cukup luas dan tidakliteratur tersebut telah di
laksanakan di mana-mana dalam penelitian literature yang sangat ilmiah oleh
clause at .al di tahun 1968.riset sosialisasi politik telah menghasilakn banyak
studi dengan ulasan literature yang di berikan pada bagian untuk
mengidentifikasi beberapa kontibusi yang relevan dalam perbandingan politik.
Literature ini di klasifikasikan ke dalam karya mengenai amerika serikat dan
studi lintas nasional yang membandingkan data dua tau lebih negara.
Sebuah kritik terhadap budaya
Antropolog Anthony Wallace telah menerapkan
perumusan proses-proses paradigmatic Khum pada pengalaman, studi, dan teori
budaya. Secara sistematis dia mengidentifikasi tahap-tahap evolusi sebuah
paradigma budaya dan merasuknya pengaruh sehingga paradigma berlaku pada ilmu
sosial.
Menurut William bostock yang menyeruhkan bahwa
mayoritas ilmuwan politik cenderung terjebak dalam generalisasi budaya politik
yang lemah dan naïf, bahwa pemahaman mereka bersandar pada asumsi-asumsi yang
di pegang secara sadar atau pun tidak sadar , seperti “politik hadir terisolasi
dari masyarakat, dan prilaku npolitik individu-individu dapat dipahami tanpa
rujukan pada masyarakat”, budaya tidak lah ada atau tidaklah penting, budaya
dapat dipelajari dalam cara yang naturalistik, budaya hadir dalam
individu-individu namun tidak dalam masyarakat.
Studi-studi budaya politik, mengurangi faktor-faktor
budaya baik menjadi ciri-ciri system sosial ataupun memperlakukanya sekedar
agregasi statistic orientasi-orientasi intrafisik dari para anggota individual
masyarakat. Lehman menyarankan bahwa terdapat satu kebutuhan bagi satu atau dua
kumpulan katagori, misalnya, pergeseran budaya dan struktur dari aspek-aspek
budaya kestruktur mengangkat pertanyaan-pertanyaan mengenai meytodologi riset.
Lebih jauh lagi, penggunaan metode survey dapat menjelaskan beberapa aspek
budaya, namu terdapat masalah yaitu memungkinkan preferensi metodologis
seseorang untuk mendefinisikan perumusan teoritis dirinya senidiri.
Menurut david
Easton dalam karya awalnya tentang sistem-sistem politik memperingatkan
bahwa kebanyakan ilmu social terkait dengan budaya dan bahwa kita perlu
mencermati bahwa kebanyakan generalisasi hanya absah didalam batas-batas
situasi budaya tertentu. Hichner dan tucker merujuk budaya politik sebagai
pencerminan bias budaya, yaitu, perasangka gagasan-gagasan barat tentang
modernitas. Lehman menyatakan keprihatinan atas bias normatif budaya politik, misalnya terhadap consensus
sebagai basis utama orde social.
Satu keprihatinan lain berhubungan dengan nilai
kejelasan budaya politik. Peter menyatakan kesangsianya, memungkinkan konsep
dengan arti penting besar seperti budaya politik mendampingi kita dalam
melaksanakan studi kehidupan politik masyarakat, berfokus pada apa yang terjadi
dan apa yang tidak terjadi, menggambarkan dan menganalisis serta mengurutkan
banyak data yang signifikan, dan mengangkat pertanyaan-pertanyaanyang berguna
bagi pemikiran dan riset tanpa menjelaskan sesuatu. Hughes dan inney memberikan posisi yang sama dan bostokck dalam
menekankan tema ini menuntut para ilmuwan politik untuk menegaskan kelemahan
dan kenaifan asumsi-sumsi dalam penjelasan budaya politik mereka. Ia
berpendapat bahwa tipologi budaya politik yang disarankan Almond dan Verba
didasarkan pada kriteria deskriptif ketimbang analitis dan karena tidak ada
paham teoritis apapun yang diterapkan, penggunan budaya politik ini tidak
memiliki kejelasan dan tidak dapat di tebak.
Akhirnya para pengkritik mempertanyakan isu otonomi,
hitchner mendesak agar lebih memperhatikan budaya politik dari system-sistem
politik nasional yang kita pelajari. Almond telah menekankan otonomi budaya
politik, dengan berpendapat bahwa system politik suatu masyarakat melekat pada
budaya politiknya. Tucker mempertanyakan apakah kita perlu memikirkan budaya
politik terdiri dari batas-batas otonom dalam budaya total suatu masyarakat ,
selanjutnya ia menyarankan bahwa gagasan budaya politik yang otonom mungkin
mencerminkan suatu bias budaya . masalah bias ini diamati oleh Pye untuk menghubungkan
budaya politik dengan perkembangan politik. Pye mencari suatu lingkungan
demokrasi , suatu perkembangan birokrasi rasional, batas-batas diamana
pola-pola modern unggul atas pola-pola tradisoanal dan perkembangan dalam
pengertian kebebasan, kedaulatan popular, dan institusi-institusi yang bebas ,
seluruh aspek yang diidentifikasikan Pye ada dalam budaya politik amerika
serikat.
Kritik terhadap budaya perlu menyertakan sebuah
fokus pada teori dan metode-metode riset dan sosialisasi. Dawson dsn Prewitt
memberitahukan bahwa mereka terlibat dengan suatu tipe analisis ideal, dalam
hal ini mereka menyarankan suatu yang bukan merupakan deskripsi empiris akurat
mengenai sosialisasi politik pada sekumpulan individu tertentu atau suatu
masyarakat . fokus seperti ini mungkin mengabaikan perubahan-perubahan besar
dalam masyarakat dan budaya. Kritik-kritik para peneliti ortodoks ini dan yang
lain tercermin dalam tulisan –tulisan Cook dan Scioli, Dennis, Greenstein,
serta Pye.
Dalam penilaian terhadap riset sosialisasi politik
kontemporer, Schonfeld menyarankan empat wilayah perhatian, pertama dorongan
penyelidikan perlu lebih memperhatikan masa kanak-kanak dan remaja dari pada
pembelajaran masa dewasa. Kedua , para peneliti tertarik bagaimana
individu-individu belajar berhubungan dengan politik, umumnya usia
dewasa.ketiga , terdapat minat untuk mengidentifikasikan citra-citra normative
orang dewasa menyangkut politik, dengan asumsi bahwa orang-orang dewasa
menyalurkan konsepsi-konsepsi kehidupan politik ideal mereka kepada anak-anak
mereka , namun arahan utama riset sosialisasi politik melewatkankan tema ini.
Keempat, dunia masa kanak-kanak mungkin dapat diuji secara heururistik sebagai
suatu cara pemahaman fenomena politik kompleks yang lebih menyeluruh, namun demikan,
para peneli tidak mengekplorasi kemungkinan ini.
Kelemahan-kelemahan dalam metodologi sosialisasi
politik dapat disaksikan pada jelasnya bias yang melingkupi
interpretasi-interpretasi para ilmuwan politik yang bekerja dalam tradisi
ortodoks.
Metode-metode atau teknik-teknik riset sosialidasi
politik patut di pertanyakan. Sigel mempertanyakan lebih disukainya penggunaan
kuesioner-kuesioner survey dan menyarankan bawa seorang peniliti mungkin dapat
memetik manfaat dari wawancara tatap muka maupun pengamatan langsung dalam
bentuk-bentuk sosialisasi seperti ruang kelas. Connel dan Goot secara khusus
mengkritik para peneliti yang berasumsi bahwa seorang penelti dewasa dan
seorang anak dapat memiliki pemahaman yang sama tentang makna pertanytaan dan
jawaban mereka. Para peneliti jarang sekali mengajukan pertanyaan-pertanyaan
politik yang sulit tentang siapa yang diuntungkan, siapa yang mengontrol, siapa
yang berupaya untuk mengontrol, proses-proses yang mereka pelajari. Bahwa
anak-anak memiliki citra penuh kebajikan atas dunia politik hampir dipastikan
adalah mitos. Namun sangat dipastikan itulah yang dilakukan para teoritisi
sosialisasi.
MENUJU SATU TANTANGAN RADIKAL
Satu tantangan radikal terhadap
teori-teori arus utama budaya politik dan sosialisasi politik pada awalnya
mencirikan konsepsi-konsepsi ortodoks lewat rangkuman kritik-kritik terhadap
teori budaya. Dengan demikian, teori-teori semacam ini :
l
Teridealisasi
sebagai sekularisasi politik kapitalis-teknologis.
l
Asumsinya
tidak memadai, tidak jelas, tidak terbukti, dan keliru.
l
Reduksionis,
terikat budaya, tidak memberikan kejelasan dan deskriptif.
l
Statis,
metodenya terbatas dan berorientasi pada perilaku pasif dan terkondisi
ketimbang pada perilaku pasif dan spontan.
Di belakang ciri-ciri ini,
seorang pengamat radikal dapat menyelidiki implikasi-implikasi ideologi dari
budaya dan sosialisasi dan dapat dipahami sebagai hal krusial dalam sosialisasi
yang disponsori negara. Mislnya di Amerika Serikat, nilai-nilai dan norma-norma
pluralisme demokrasi liberal mungkin dimasukkan ke dalam sistem sehingga budaya
dan sosialisasi tidak menjadi independen namun bergantung pada negara atau sistemnya sendiri. Merasuknya penyebaran
ideologi ini dapat berkontribusi pada kepasifan dan kesadaran semu tentang
dunia dimana individu-individu tinggal. Misalnya, disosialisasikan agar
memandang kebutuhan dan masalah sebagai hal-hal yang tidak penting. Untuk
perluasan tema-tema ini, lihat Bell (1976), Kanth (1976) dan Mattelart (1979).
Masalah-masalah semacam ini mendorong suatu eksplorasi alternatif-alternatif
dari konsepsi ortodoks.
Dalam membedakan budaya dari
perwujudan-perwujudan peradaban yang bersifat material dan terukur, Bastock
berkesimpulan bahwa budaya adalah “sebuah konsep abstrak, terdiri dari
gagasan-gagasan, sehingga dengan demikian tidak memungkinkan dilakukannya
pengamatan material”. Budaya politik tersusun dari nilai-nilai inti yang
memberikan makna kepada individu-individu yang tersosialisasi olehnya
sehinnga”secara tidak sadar menjadi penyalurnya”. Pengamatan-pengamatan ini
menyiratkan konsekuensi-konsekuensi serius bagi para peneliti yang mungkin
memanipulasi temuan-temuan mereka demi mempertahankan sebuah masyarakat status
quo. Connell dan Goot (1972-1973) menuduh para akademisi bahwa pandangan
dunia mereka mungkin terbentuk oleh posisi kelas mereka sehingga memandang
anak-anak kelas-pekerja sebagai “tersosialisai secara tidak
lengkap,”menghasilkan perasaan-perasaan tidak mampu. Mereka mengutip
usulan-usulan Langton (1969) untuk memisah-misahkan kelas atas nama elit modern
dan juga mengutip satu peringatan Hess dan Torney (1967) bahwa aspek-aspek tak
menyenangkan dari kehidupan politik sebaiknya tidak diungkapkan terlalu dini
kepada anak-anak sekolah Amerika Serikat. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa
riset sosialiasi melumpuhkan masalah kepedulian lewat rujukan distorisi
tudi-studi Easton dan Dennis (1969) serta Lane (1959b), yang “mengekalkan citra
bahwa wanita bersifat lebih konservatif, lebih apatis dan lebih peduli dengan
orang-orang dan isu-isu’reformasi’ pinggiran daripada pria” Morgan (1974:54).
Connell dan Goot mendesakkan
suatu pendekatan yang berurusan “dengan tindakan manusia dalam sejarah.”
penekanan dan kesadaran politik ini diketemukan pada untaian teori Marxis :
yang satu mamadukan pemikiran Marx dengan George Lucacs serta Antonio Gramsci
dan yang lain mengintegrasikan Marxis dan gagasan-gagasan Freudian dalam
pemikiran Karl Mannheim, Erich Fromm, Herbert Marcuse dan Jean-Paul Sartre.
Menurut John Meisel (1974: 614),
relevansi polotik dengan budaya lebih mungkin diketemukan dalam kerangka kerja
Marxis dari pada dalam artikel-artikel jurnal-jurnal profesional ilmu politik.
Legros (1977) berpendapat bahwa evolusionosme budaya para antropolog Amerika
Serikat sangat tidak konsisten dengan teori Marxis, terlepas dari adanya
penegasan-penegasan yang sebaliknya.
Pandangan Marxis tentang individu
seringkali menimbulkan dikotomi dalam dua jalur. Marx menggantikan idealisme
Hegelian dengan sebuah interpretasi konkret masyarakat material dan mengakarkan
analisisnya pada mode produksi dan proses tenaga kerja didalamnya. Bebrapa
pengikut Marxis menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan material menentukan
batas-batas kesadaran individual. Kovell (1976) berpendapat bahwa konsepsi
seperti ini bersifat linier dan deterministik, memindahkan orang ke suatu
situasi yang pasif dan tidak mampu bertindak sendiri. Pandangan ini
dipercayainya, mencerminkan Marxisme “Vulgar” dan secara mendasar bukanlah
Marxis, karena individu dalam kondisi-kondisi seperti ini “adalah sebuah robot
yang dipersiapkan bagi domonasi sosialisme birokratik atau bagi dominasi modal
korporasi”.
Sebuah perdebatan luas merebak
disekitar dua pandangan ini yaitu para teoritisi Freudian dan Marxis berbeda
dalam interpretasi-interpretasi mereka. Dalam hal ini, esai Wilhelm Reich
(1966), sebuah penilaian atas perbedaan-perbedaan Kovell (1976) dan ulasan
Brown (1973).
Marx mula-mula berurusan dengan
penyusunan teori pengucilan dalam Economic and Philosophic Manuscipts,
namun dalam Capital, Marx tidak berfokus pada pengucilan. Sejak itulah
satu kontroversi lahir dimana beberapa penulis berpendapat bahwa Marx dewasa
telah meninggalkan teorinya yang terdahulu, yang lain bersikeras bahwa teori
yang vital tersebut berakar dalam karya-karya Marx muda. Perselisihan ini sebagian
terpecahkan oleh publikasi Grundrisse, sebuah karya tradisional dan basis
gagasan-gagasan yang disajikan dalam Capital.
Teori pengucilan bersandar pada
kondisi-kondisi ekonomi, politik dan sosial, dan teori seperti ini dapat
diketemukan di seluruh periode sejarah. Marx, meski demikian, tertarik dengan
pengucilan dalam sebuah masyarakat kapitalis. Esensinya, pengucilan adalah
sebuah pencerminan hubungan-hubungan antara kelas-kelas para pemilik dengan
para pekerja.
Kita
telah menunjukkan bahwa pekerja jatuh ke tingkatan komoditas, komoditas yang
paling menyedihkan; bahwa kepedihan pekerja meningkat dengan kekuatan dan
volume produksinya; bahwa persaingan yang dihasilkannya adalah akumulasi modal
di beberapa tangan, dan dengan demikian sebuah pemulihan monopoli dalam bentuk
yang lebih mengerikan; dan akhirnya perbedaan-perbedaan antara kapitalis dan
pemilik tanah, serta antara pekerja pertanian dan pekerja industri harus
dihapuskan dan seluruh masyarakat terbagi kedalam dua kelas berupa para pemilik
properti dan pekerja-pekerja tanpa properti. (Marx 1961: 93)
Yang tersirat dalam
teori pengucilan tersebut adalah kemungkinan terjadinya penghapusan pengucilan
secara bertahap lewat penciptaan kondisi-kondisi bagi sebuah masyarakat tanpa
kelas dan sebuah revolusi sosialis dunia.
Bagaimanakah
prospek-prospek penghapusan pengucilan? Bruce Brown (1973) merujuk satu
“praksis baru” praktek dan teori yang bermula dengan pengalaman penindasan
individual, kemudian beralih pada penemuan pengucilan, dan berakhir dengan
penolakan pengucilan melalui sebuah proses dimana yang bersangkutan
terpolitisasi untuk menerima”satu dimensi sosial yang sejati, penyatuan
perjuangan penciptaan diri yang baru dengan perjuangan bagi penciptaan
masyarakat baru” (Brown 1973: 189). Frank Lindenfeld (1973) berpendapat bahwa
dalam masyarakat-masyarakat industri maju dimungkinkan untuk menghapuskan
pengucilan dari pekerjaan. Ia berasumsi bahwa pengucilan merupakan konsekuensi
dari spesialisasi pekerjaan dan birokratisasi dalam industri di bawah
kapitalisme atau sosialisme.
Lindenfeld
mengutip kasus-kasus Republik Spanyol di tahun 1936 danYugoslavia sekarang ini
untuk memberikan ilustrasi pendekatannya. Pengucilan tidak dapat dihapuskan di
dalam masyarakat tanpa mengakhiri produksi komoditas dan pembagian sosial
tenaga kerja serta penghapusan perbedaan-perbedaan antara tenaga kerja manual
dan intelektual serta antara para pelaksana dan para manejer.
Samir
Amin (1977) mengidentifikasi tiga model universal organisasi sosial dan
perumusan ideologi : model Amerika Utara, model Uni Soviet, dan model Cina.
Terlepas dari analisis hubungan-hubungan antara basis ekonomi dan supratruktur
ideologi, Amin memandang model pertama berakar dalam formasi kapitalis dan
ideologi Eropa dan filosofi pencerahannya didasarkan pada tradisi materialisme
mekanistik. Menurut Amin,”ilmu borjuis tidak pernah melampaui materialisme
primitif ini karena ia mengkondisikan reproduksi pengucilan, memungkinkan modal
mengeksploitasi tenaga kerja”. Dua model yang lain didasarkan pada Marxisme.
Model Soviet berbagi dengan model pertama menyangkut gagasan-gagasan konsumsi,
teknologi dan tenaga kerja yang diturunkan dari perkembangan kekuatan-kekuatan
produksi dan bahwa kapitalisme membedakan dirinya dari sosialisme dalam
hubungannya dengan kepemilikan pribadi atau publik atas cara-cara produksi.
Model Cina, sebaliknya, tidak mengantisipasi bahwa sosialisme dapat mengambil
alih pola-pola konsumsi dan tenaga kerja kapitalisme.
Menurut
Amin, setiap model mewakili suatu belahan budaya yang berbeda. Dalam menilai
setiap belahan, pendekatan Marxis memandukan materialisme dengan dialektika dan
dengan demikian membedakan dirinya dari interpretasi-interpretasi klasik
materialisme dan dari idealisme. Marxisme “menghilangkan kebingungan” terhada materialisme
dan idealisme dengan menghubungkan pengertian tersebut dengan perjuangan kelas.
UNI SOVIET
Analisis
Marxis berkonsentrasi pada mode produksi, kekuatan-kekuatan produksi, dan
hubungan-hubungan sosial dari produksi, dengan demikian konsep budaya dapat
diterapkan dalam Marxisme, bukan ditingkat basis melainkan suprastruktur. Lenin
memahami budaya sebagai struktur kelas, tercipta dalam citra kelas penguasa.
Dalam kapitalisme, kaum borjuis menggunakan budaya untuk meningkatkan
kesejahteraannya dan untuk mengintensifkan eksploitasi terhadap mereka yang
bekerja. Dalam imperialisme, budaya borjuis mengalami peluruhan dan tingkat
budaya masyarakat menurun. Dalam sosialisme budaya diarahkan menuju pemuasan
kebutuhan massa. Dengan demikian Lenin memandang budaya terbangkitkan, di satu
sisis, dalam budaya sosialis dan demokratis dari massa rakyat pekerja dan
tereksploitasi dan sisis lain dalam budaya penguasa dari kaum borjuis.
Lenin
mengembangkan konsepsi struktur kelasnya di tahun-tahun awal revolusi Rusia.
Stalin memodifikasi konsepsi tersebut dengan memberikan perhatian pada
tradisi-tradisi nasional dan nasionalitas Uni Soviet. Pengenalannya atas budaya
nasional melampaui penggunaan budaya Lenin dan Marx, mengejajarkan
posisi”nasional” dirinya dengan posisi”internasional” Lenin.
0 komentar:
Post a Comment