.

.
Home » » Resume Buku Teori Perbandingan Politik oleh Ronald H. Chilcote (BAB VI)

Resume Buku Teori Perbandingan Politik oleh Ronald H. Chilcote (BAB VI)

OLEH :
WAHYUDIN NOR
ISMAIL
ANGGA DWI SAPUTRA
SELMANUS NOBER S
AHMAD NAJIH PERMANA
MUHAMMAD VAHRIANDI
JANUWAR RAMDHAN
FARUQ FAHREZA


BAB 6 TEORI-TEORI BUDAYA POLITIK KOLEKTIVITAS DAN MANUSIA
Teori-teori budaya politik kontemporer ortodoks dan radikal menjadi pusat perhatian yang dihubungkan dengan asumsi budaya karya marx dan weber, beragam pandangan yang berasal dari antropologis , sosiologi dan psikologi diuji untuk mencari asal-usul budaya politik pada tingkat makro atau mikro,
Pada tingkat umum marx memandang keyakinan-keyakinan dan symbol budaya dalam masyarakat kapitalis sebagai bagian dari sebuah suprastruktur ideology dan kesadaran semu, oleh karenanya buday bersifat statis, perubahan budaya hanya terjadi lewat perubahan sejarah berbasis material, lewat transformasi mode produksi dan hubungan0hubungan kelas.
Weber dan max berurusan dengan tingkat budaya umum dan khusus, secara keseluruhan , weber menjelaskan susunan politik social dan ekonomi dengan merujuk pada budaya otonom, sementara marx menjelaskan budaya dalam pengertiannya terhadap susunan politik, social dan ekonomi masyarkat.
KONSEPTUALISASI BUDAYA DAN BUDAYA POLITIK ORTODOKS
Makna budaya kebanyakan berasal dari penggunaan budaya dari penggunaan budaya dalam penegrtian antropologi, E.B taylor, konsep budaya sebagai keutuhan kompleks yang menyertakan , pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum adat dan kemampuan serta kebiasaan diri sebuah komunitas.
Konsep budaya menurut Frans Boas serupa dengan taylor, budaya merangkul seluruh perwujudan kebiasaan suatu komunitas, konsep budaya menurut clyde kluckhohn, budaya terdiri dari pola-pola eksplisit dan implicit dari dan atas perialku yang didapat dan disalurkan melalui symbol-simbol.keragaman inilah yang memandu pemikiran ilmu social tentang budaya, ada konsep budaya humanistic dan budaya antropologis yang kemudian coba dijembatani oleh jaeger dan selznik, dengan berpendapat bahwa ada kecenderungan antropolog yang mencerminkan kepedulian terhadap niali ideal budaya.
INTERPRETASI BUDAYA PPOLITIK PADA TINGKATAN UMUM
Konsep budaya politik dikenalkan pertama kali (1956) oleh Gabriel almond untuk memberikan suatu klasifikasi dalam membandingkan system-sistem politik, almond menyarankan  budaya politik terpisah ( memiliki otonom) namun tetap berhubungan dengan budaya umum, namun ia juga menghubungkannya dengan klasifikasi system politiknya, dalam the civic culture, almod dan verba menyempurnakan konsep budaya politiknya, mereka merujuk pada system politik yang terinternalisasikan lewat perenungan perasaan, dan evaluasi penduduknya. Berkolaborasi dengan o’bingham powell jr, almond memperluas system politiknya, budaya politik adalah sikap-sikap dan orientasi individu dual politik diantara  suatu system politik.
Studi-studi komunikasi
Komunikasi adalah jaringan masyarakat manusia .atau sturuktur sebuah system komunikasi dengan saluran –saluarannya yang sedikit banyak terdefinisikan dengan baik komunikasi menjadi aspek yang agak terpingirkan   dan tidak sepenuhnya di peluaskan dalam perbandingan politik, studi komunikasi adalah esensial dan memberikan fasilitas bagi pemahaman dan perkembangan budaya,
Menurut Lucian pye bahwa seluruh proses- proses social dapat di analisis dalam pengertiyang berhubunganan struktur, kandungan dan aliran komunikasi. Ada pun ciri- ciri komunikasi
Pertama sebagaimana di sampaikan di atas bahwa komunikasi meresapi hubungan manusi dengan pesan yang segaja maupun tidak kedua komunikasi berlaku pada institusi media masa pers dan radio ,televise. Seni –seni  popular.
Dengan ciri-ciri di atas pye meneguhkan sebuah budaya dunia sabagai tipe ideal dari apa yang di pikirkan bagi kehidupan modern. Ia di dasarkan pasa suatu pandangan ilmiah dan rasional serta penerapannya dalam seluruh fase kehidupan dengan tingkat –tingkat teknologi yang selalu lebih tinggi ia merupakan pencerminan masyarkat perkotaan dan industry di mana hubungan hubungan manusi di dalilkan pada pertimbangan pertimbangan sekuler ketimbang saktral ia merangkul semangat pencerah setidaknya pengakuaan nilai –nilai manusia secara formal dan penerima norma –norma rasional legal prilaku pemerintah.
Di dalam memaparkan budaya ilmiah ini pye di tahun 1963 menulis 3 model komunikasi trasional.transisional. dan modern dari tahap tradisional atau transisonal menuju modern  teori tahap ini mengklasifikasikan  dan mengambarkan masyarakat tertentu
Tahap pertama  tradisional proses komunikasi inin tidak di bedakan secara tajam dengan sosial lainnya proses hirarki social menentukan aliran dan kandungan informasi sehingga memperkuat kepentingan sendiri dan para komunikator professional jarang terdapat
Tahap kedua trasisional adlah komunikasi terbagi menjadi dua orientasinya pecah pecah di satu sisi pusat populasi perkotaan dan berpandangan barat berorentasi.
Tahap ketiga modern komunikasi media massa terprofesionalis dan relative indefenden terhadap pemerintah mereka di pandu oleh standar standar universal,interaksi dan umpan balik mencirikan lairan informasi anatara kedua tingkat
ciri dasar suatu budaya politik sebagian di tentukan oleh hubungan antara komunikasi komunikasi dan proses yang menjadi ekspresi kepentingan politik, komunikasi berhubungan dengan proses  lain seperti  mobilisasi, partisipasi dan pengaruh mobilisasi adalah proses dimana kelompok –kelompok komitmen social ekonomi dan psikologi utama yang lam terkikis atau  runtuh dan orang siap menerima pola pola sosialisasi dan prilaku yang baru.
Studi –studi sosialisasi
Di dalam media massa khususnya di dalam media massa berkontribusi pada sosialiasi politik sebuah subjek yang banyak menarik minat spesialis perbandingan politikdi negara –negara kapitalis seperti amerika syarikat.ilmuwan politik menguji sosialisasi politik sebagai cara untuk melakkan verifikasi asumsi asumsi tentang pemerintahan demokratis studi studi negara sosialisseperti china,kuba,dan uni soviet berfokus  pada pola pemikiran yang mensosialisasikan populasi sehingga mereka mengadopsi keyakinan dan nilai nilai masyarakat  revolusioner.
Meskipun para ilmuwan politik telah lama tertarik dengan cara  cara parah anggota masyarakat yang mempelajari politik   tidak terdapat khusus menyangkut apa yang perlu di pelajari atau bagaimana  riset perlu di laksanakan   secara historis yang satu di sebut  pendekatan sosiopsikologis dan yang lain pendekatan politik. Pendekatan politik umum sebaliknta menilai konsekuensi social bagi system secra utuh  dan kurang memperhitungkan keyakinan poliyik  individual dan mengarahkan perhatian pda institusi  yang membentuk pola kewenagan dan legitimasi
Menurut morgan 1974 adalah salah tafsir green stein 1965 juga berpadapat bahwa perbedaan kelas hubungan dengan  sosialisasi politik karena orang tua dari strata social lebih tinggi secra politik lebih aktif dan cenderung dan cenderung memberikan satu model keterlibatan sipil kepada anak  anaknya.semua tingkat  kehidupan  dan  focus kebanyakan studi adalah pembelajaran politik mas kanak –kanak   studi ini di maksud  untuk meberikan konsentrasi pada agen agen sosialisasi politik dan literature  socialisasi politik cukup luas dan tidakliteratur tersebut telah di laksanakan di mana-mana dalam penelitian literature yang sangat ilmiah oleh clause at .al di tahun 1968.riset sosialisasi politik telah menghasilakn banyak studi dengan ulasan literature yang di berikan pada bagian untuk mengidentifikasi beberapa kontibusi yang relevan dalam perbandingan politik. Literature ini di klasifikasikan ke dalam karya mengenai amerika serikat dan studi lintas nasional yang membandingkan data dua tau lebih negara.
             Sebuah kritik terhadap budaya
Antropolog Anthony Wallace telah menerapkan perumusan proses-proses paradigmatic Khum pada pengalaman, studi, dan teori budaya. Secara sistematis dia mengidentifikasi tahap-tahap evolusi sebuah paradigma budaya dan merasuknya pengaruh sehingga paradigma berlaku pada ilmu sosial.
Menurut William bostock yang menyeruhkan bahwa mayoritas ilmuwan politik cenderung terjebak dalam generalisasi budaya politik yang lemah dan naïf, bahwa pemahaman mereka bersandar pada asumsi-asumsi yang di pegang secara sadar atau pun tidak sadar , seperti “politik hadir terisolasi dari masyarakat, dan prilaku npolitik individu-individu dapat dipahami tanpa rujukan pada masyarakat”, budaya tidak lah ada atau tidaklah penting, budaya dapat dipelajari dalam cara yang naturalistik, budaya hadir dalam individu-individu namun tidak dalam masyarakat.
Studi-studi budaya politik, mengurangi faktor-faktor budaya baik menjadi ciri-ciri system sosial ataupun memperlakukanya sekedar agregasi statistic orientasi-orientasi intrafisik dari para anggota individual masyarakat. Lehman menyarankan bahwa terdapat satu kebutuhan bagi satu atau dua kumpulan katagori, misalnya, pergeseran budaya dan struktur dari aspek-aspek budaya kestruktur mengangkat pertanyaan-pertanyaan mengenai meytodologi riset. Lebih jauh lagi, penggunaan metode survey dapat menjelaskan beberapa aspek budaya, namu terdapat masalah yaitu memungkinkan preferensi metodologis seseorang untuk mendefinisikan perumusan teoritis dirinya senidiri.
Menurut david  Easton dalam karya awalnya tentang sistem-sistem politik memperingatkan bahwa kebanyakan ilmu social terkait dengan budaya dan bahwa kita perlu mencermati bahwa kebanyakan generalisasi hanya absah didalam batas-batas situasi budaya tertentu. Hichner dan tucker merujuk budaya politik sebagai pencerminan bias budaya, yaitu, perasangka gagasan-gagasan barat tentang modernitas. Lehman menyatakan keprihatinan atas bias normatif  budaya politik, misalnya terhadap consensus sebagai basis utama orde social.
Satu keprihatinan lain berhubungan dengan nilai kejelasan budaya politik. Peter menyatakan kesangsianya, memungkinkan konsep dengan arti penting besar seperti budaya politik mendampingi kita dalam melaksanakan studi kehidupan politik masyarakat, berfokus pada apa yang terjadi dan apa yang tidak terjadi, menggambarkan dan menganalisis serta mengurutkan banyak data yang signifikan, dan mengangkat pertanyaan-pertanyaanyang berguna bagi pemikiran dan riset tanpa menjelaskan sesuatu. Hughes dan inney memberikan  posisi yang sama dan bostokck dalam menekankan tema ini menuntut para ilmuwan politik untuk menegaskan kelemahan dan kenaifan asumsi-sumsi dalam penjelasan budaya politik mereka. Ia berpendapat bahwa tipologi budaya politik yang disarankan Almond dan Verba didasarkan pada kriteria deskriptif ketimbang analitis dan karena tidak ada paham teoritis apapun yang diterapkan, penggunan budaya politik ini tidak memiliki kejelasan dan tidak dapat di tebak.
Akhirnya para pengkritik mempertanyakan isu otonomi, hitchner mendesak agar lebih memperhatikan budaya politik dari system-sistem politik nasional yang kita pelajari. Almond telah menekankan otonomi budaya politik, dengan berpendapat bahwa system politik suatu masyarakat melekat pada budaya politiknya. Tucker mempertanyakan apakah kita perlu memikirkan budaya politik terdiri dari batas-batas otonom dalam budaya total suatu masyarakat , selanjutnya ia menyarankan bahwa gagasan budaya politik yang otonom mungkin mencerminkan suatu bias budaya . masalah bias ini diamati oleh Pye untuk menghubungkan budaya politik dengan perkembangan politik. Pye mencari suatu lingkungan demokrasi , suatu perkembangan birokrasi rasional, batas-batas diamana pola-pola modern unggul atas pola-pola tradisoanal dan perkembangan dalam pengertian kebebasan, kedaulatan popular, dan institusi-institusi yang bebas , seluruh aspek yang diidentifikasikan Pye ada dalam budaya politik amerika serikat.
Kritik terhadap budaya perlu menyertakan sebuah fokus pada teori dan metode-metode riset dan sosialisasi. Dawson dsn Prewitt memberitahukan bahwa mereka terlibat dengan suatu tipe analisis ideal, dalam hal ini mereka menyarankan suatu yang bukan merupakan deskripsi empiris akurat mengenai sosialisasi politik pada sekumpulan individu tertentu atau suatu masyarakat . fokus seperti ini mungkin mengabaikan perubahan-perubahan besar dalam masyarakat dan budaya. Kritik-kritik para peneliti ortodoks ini dan yang lain tercermin dalam tulisan –tulisan Cook dan Scioli, Dennis, Greenstein, serta Pye.
Dalam penilaian terhadap riset sosialisasi politik kontemporer, Schonfeld menyarankan empat wilayah perhatian, pertama dorongan penyelidikan perlu lebih memperhatikan masa kanak-kanak dan remaja dari pada pembelajaran masa dewasa. Kedua , para peneliti tertarik bagaimana individu-individu belajar berhubungan dengan politik, umumnya usia dewasa.ketiga , terdapat minat untuk mengidentifikasikan citra-citra normative orang dewasa menyangkut politik, dengan asumsi bahwa orang-orang dewasa menyalurkan konsepsi-konsepsi kehidupan politik ideal mereka kepada anak-anak mereka , namun arahan utama riset sosialisasi politik melewatkankan tema ini. Keempat, dunia masa kanak-kanak mungkin dapat diuji secara heururistik sebagai suatu cara pemahaman fenomena politik kompleks yang lebih menyeluruh, namun demikan, para peneli tidak mengekplorasi kemungkinan ini.
Kelemahan-kelemahan dalam metodologi sosialisasi politik dapat disaksikan pada jelasnya bias yang melingkupi interpretasi-interpretasi para ilmuwan politik yang bekerja dalam tradisi ortodoks.
Metode-metode atau teknik-teknik riset sosialidasi politik patut di pertanyakan. Sigel mempertanyakan lebih disukainya penggunaan kuesioner-kuesioner survey dan menyarankan bawa seorang peniliti mungkin dapat memetik manfaat dari wawancara tatap muka maupun pengamatan langsung dalam bentuk-bentuk sosialisasi seperti ruang kelas. Connel dan Goot secara khusus mengkritik para peneliti yang berasumsi bahwa seorang penelti dewasa dan seorang anak dapat memiliki pemahaman yang sama tentang makna pertanytaan dan jawaban mereka. Para peneliti jarang sekali mengajukan pertanyaan-pertanyaan politik yang sulit tentang siapa yang diuntungkan, siapa yang mengontrol, siapa yang berupaya untuk mengontrol, proses-proses yang mereka pelajari. Bahwa anak-anak memiliki citra penuh kebajikan atas dunia politik hampir dipastikan adalah mitos. Namun sangat dipastikan itulah yang dilakukan para teoritisi sosialisasi.

MENUJU SATU TANTANGAN RADIKAL

Satu tantangan radikal terhadap teori-teori arus utama budaya politik dan sosialisasi politik pada awalnya mencirikan konsepsi-konsepsi ortodoks lewat rangkuman kritik-kritik terhadap teori budaya. Dengan demikian, teori-teori semacam ini :

l  Teridealisasi sebagai sekularisasi politik kapitalis-teknologis.
l  Asumsinya tidak memadai, tidak jelas, tidak terbukti, dan keliru.
l  Reduksionis, terikat budaya, tidak memberikan kejelasan dan deskriptif.
l  Statis, metodenya terbatas dan berorientasi pada perilaku pasif dan terkondisi ketimbang pada perilaku pasif dan spontan.

Di belakang ciri-ciri ini, seorang pengamat radikal dapat menyelidiki implikasi-implikasi ideologi dari budaya dan sosialisasi dan dapat dipahami sebagai hal krusial dalam sosialisasi yang disponsori negara. Mislnya di Amerika Serikat, nilai-nilai dan norma-norma pluralisme demokrasi liberal mungkin dimasukkan ke dalam sistem sehingga budaya dan sosialisasi tidak menjadi independen namun bergantung pada negara  atau sistemnya sendiri. Merasuknya penyebaran ideologi ini dapat berkontribusi pada kepasifan dan kesadaran semu tentang dunia dimana individu-individu tinggal. Misalnya, disosialisasikan agar memandang kebutuhan dan masalah sebagai hal-hal yang tidak penting. Untuk perluasan tema-tema ini, lihat Bell (1976), Kanth (1976) dan Mattelart (1979). Masalah-masalah semacam ini mendorong suatu eksplorasi alternatif-alternatif dari konsepsi ortodoks.
Dalam membedakan budaya dari perwujudan-perwujudan peradaban yang bersifat material dan terukur, Bastock berkesimpulan bahwa budaya adalah “sebuah konsep abstrak, terdiri dari gagasan-gagasan, sehingga dengan demikian tidak memungkinkan dilakukannya pengamatan material”. Budaya politik tersusun dari nilai-nilai inti yang memberikan makna kepada individu-individu yang tersosialisasi olehnya sehinnga”secara tidak sadar menjadi penyalurnya”. Pengamatan-pengamatan ini menyiratkan konsekuensi-konsekuensi serius bagi para peneliti yang mungkin memanipulasi temuan-temuan mereka demi mempertahankan sebuah masyarakat status quo. Connell dan Goot (1972-1973) menuduh para akademisi bahwa pandangan dunia mereka mungkin terbentuk oleh posisi kelas mereka sehingga memandang anak-anak kelas-pekerja sebagai “tersosialisai secara tidak lengkap,”menghasilkan perasaan-perasaan tidak mampu. Mereka mengutip usulan-usulan Langton (1969) untuk memisah-misahkan kelas atas nama elit modern dan juga mengutip satu peringatan Hess dan Torney (1967) bahwa aspek-aspek tak menyenangkan dari kehidupan politik sebaiknya tidak diungkapkan terlalu dini kepada anak-anak sekolah Amerika Serikat. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa riset sosialiasi melumpuhkan masalah kepedulian lewat rujukan distorisi tudi-studi Easton dan Dennis (1969) serta Lane (1959b), yang “mengekalkan citra bahwa wanita bersifat lebih konservatif, lebih apatis dan lebih peduli dengan orang-orang dan isu-isu’reformasi’ pinggiran daripada pria” Morgan (1974:54).
Connell dan Goot mendesakkan suatu pendekatan yang berurusan “dengan tindakan manusia dalam sejarah.” penekanan dan kesadaran politik ini diketemukan pada untaian teori Marxis : yang satu mamadukan pemikiran Marx dengan George Lucacs serta Antonio Gramsci dan yang lain mengintegrasikan Marxis dan gagasan-gagasan Freudian dalam pemikiran Karl Mannheim, Erich Fromm, Herbert Marcuse dan Jean-Paul Sartre.
Menurut John Meisel (1974: 614), relevansi polotik dengan budaya lebih mungkin diketemukan dalam kerangka kerja Marxis dari pada dalam artikel-artikel jurnal-jurnal profesional ilmu politik. Legros (1977) berpendapat bahwa evolusionosme budaya para antropolog Amerika Serikat sangat tidak konsisten dengan teori Marxis, terlepas dari adanya penegasan-penegasan yang sebaliknya.
Pandangan Marxis tentang individu seringkali menimbulkan dikotomi dalam dua jalur. Marx menggantikan idealisme Hegelian dengan sebuah interpretasi konkret masyarakat material dan mengakarkan analisisnya pada mode produksi dan proses tenaga kerja didalamnya. Bebrapa pengikut Marxis menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan material menentukan batas-batas kesadaran individual. Kovell (1976) berpendapat bahwa konsepsi seperti ini bersifat linier dan deterministik, memindahkan orang ke suatu situasi yang pasif dan tidak mampu bertindak sendiri. Pandangan ini dipercayainya, mencerminkan Marxisme “Vulgar” dan secara mendasar bukanlah Marxis, karena individu dalam kondisi-kondisi seperti ini “adalah sebuah robot yang dipersiapkan bagi domonasi sosialisme birokratik atau bagi dominasi modal korporasi”.
Sebuah perdebatan luas merebak disekitar dua pandangan ini yaitu para teoritisi Freudian dan Marxis berbeda dalam interpretasi-interpretasi mereka. Dalam hal ini, esai Wilhelm Reich (1966), sebuah penilaian atas perbedaan-perbedaan Kovell (1976) dan ulasan Brown (1973).
Marx mula-mula berurusan dengan penyusunan teori pengucilan dalam Economic and Philosophic Manuscipts, namun dalam Capital, Marx tidak berfokus pada pengucilan. Sejak itulah satu kontroversi lahir dimana beberapa penulis berpendapat bahwa Marx dewasa telah meninggalkan teorinya yang terdahulu, yang lain bersikeras bahwa teori yang vital tersebut berakar dalam karya-karya Marx muda. Perselisihan ini sebagian terpecahkan oleh publikasi Grundrisse, sebuah karya tradisional dan basis gagasan-gagasan yang disajikan dalam Capital.
Teori pengucilan bersandar pada kondisi-kondisi ekonomi, politik dan sosial, dan teori seperti ini dapat diketemukan di seluruh periode sejarah. Marx, meski demikian, tertarik dengan pengucilan dalam sebuah masyarakat kapitalis. Esensinya, pengucilan adalah sebuah pencerminan hubungan-hubungan antara kelas-kelas para pemilik dengan para pekerja.
Kita telah menunjukkan bahwa pekerja jatuh ke tingkatan komoditas, komoditas yang paling menyedihkan; bahwa kepedihan pekerja meningkat dengan kekuatan dan volume produksinya; bahwa persaingan yang dihasilkannya adalah akumulasi modal di beberapa tangan, dan dengan demikian sebuah pemulihan monopoli dalam bentuk yang lebih mengerikan; dan akhirnya perbedaan-perbedaan antara kapitalis dan pemilik tanah, serta antara pekerja pertanian dan pekerja industri harus dihapuskan dan seluruh masyarakat terbagi kedalam dua kelas berupa para pemilik properti dan pekerja-pekerja tanpa properti. (Marx 1961: 93)

Yang tersirat dalam teori pengucilan tersebut adalah kemungkinan terjadinya penghapusan pengucilan secara bertahap lewat penciptaan kondisi-kondisi bagi sebuah masyarakat tanpa kelas dan sebuah revolusi sosialis dunia.





Bagaimanakah prospek-prospek penghapusan pengucilan? Bruce Brown (1973) merujuk satu “praksis baru” praktek dan teori yang bermula dengan pengalaman penindasan individual, kemudian beralih pada penemuan pengucilan, dan berakhir dengan penolakan pengucilan melalui sebuah proses dimana yang bersangkutan terpolitisasi untuk menerima”satu dimensi sosial yang sejati, penyatuan perjuangan penciptaan diri yang baru dengan perjuangan bagi penciptaan masyarakat baru” (Brown 1973: 189). Frank Lindenfeld (1973) berpendapat bahwa dalam masyarakat-masyarakat industri maju dimungkinkan untuk menghapuskan pengucilan dari pekerjaan. Ia berasumsi bahwa pengucilan merupakan konsekuensi dari spesialisasi pekerjaan dan birokratisasi dalam industri di bawah kapitalisme atau sosialisme.
Lindenfeld mengutip kasus-kasus Republik Spanyol di tahun 1936 danYugoslavia sekarang ini untuk memberikan ilustrasi pendekatannya. Pengucilan tidak dapat dihapuskan di dalam masyarakat tanpa mengakhiri produksi komoditas dan pembagian sosial tenaga kerja serta penghapusan perbedaan-perbedaan antara tenaga kerja manual dan intelektual serta antara para pelaksana dan para manejer.
Samir Amin (1977) mengidentifikasi tiga model universal organisasi sosial dan perumusan ideologi : model Amerika Utara, model Uni Soviet, dan model Cina. Terlepas dari analisis hubungan-hubungan antara basis ekonomi dan supratruktur ideologi, Amin memandang model pertama berakar dalam formasi kapitalis dan ideologi Eropa dan filosofi pencerahannya didasarkan pada tradisi materialisme mekanistik. Menurut Amin,”ilmu borjuis tidak pernah melampaui materialisme primitif ini karena ia mengkondisikan reproduksi pengucilan, memungkinkan modal mengeksploitasi tenaga kerja”. Dua model yang lain didasarkan pada Marxisme. Model Soviet berbagi dengan model pertama menyangkut gagasan-gagasan konsumsi, teknologi dan tenaga kerja yang diturunkan dari perkembangan kekuatan-kekuatan produksi dan bahwa kapitalisme membedakan dirinya dari sosialisme dalam hubungannya dengan kepemilikan pribadi atau publik atas cara-cara produksi. Model Cina, sebaliknya, tidak mengantisipasi bahwa sosialisme dapat mengambil alih pola-pola konsumsi dan tenaga kerja kapitalisme.
Menurut Amin, setiap model mewakili suatu belahan budaya yang berbeda. Dalam menilai setiap belahan, pendekatan Marxis memandukan materialisme dengan dialektika dan dengan demikian membedakan dirinya dari interpretasi-interpretasi klasik materialisme dan dari idealisme. Marxisme “menghilangkan kebingungan” terhada materialisme dan idealisme dengan menghubungkan pengertian tersebut dengan perjuangan kelas.

UNI SOVIET
Analisis Marxis berkonsentrasi pada mode produksi, kekuatan-kekuatan produksi, dan hubungan-hubungan sosial dari produksi, dengan demikian konsep budaya dapat diterapkan dalam Marxisme, bukan ditingkat basis melainkan suprastruktur. Lenin memahami budaya sebagai struktur kelas, tercipta dalam citra kelas penguasa. Dalam kapitalisme, kaum borjuis menggunakan budaya untuk meningkatkan kesejahteraannya dan untuk mengintensifkan eksploitasi terhadap mereka yang bekerja. Dalam imperialisme, budaya borjuis mengalami peluruhan dan tingkat budaya masyarakat menurun. Dalam sosialisme budaya diarahkan menuju pemuasan kebutuhan massa. Dengan demikian Lenin memandang budaya terbangkitkan, di satu sisis, dalam budaya sosialis dan demokratis dari massa rakyat pekerja dan tereksploitasi dan sisis lain dalam budaya penguasa dari kaum borjuis.
Lenin mengembangkan konsepsi struktur kelasnya di tahun-tahun awal revolusi Rusia. Stalin memodifikasi konsepsi tersebut dengan memberikan perhatian pada tradisi-tradisi nasional dan nasionalitas Uni Soviet. Pengenalannya atas budaya nasional melampaui penggunaan budaya Lenin dan Marx, mengejajarkan posisi”nasional” dirinya dengan posisi”internasional” Lenin.


0 komentar:

Post a Comment